Pages

Tuesday, March 24, 2015

Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia Dari Masa Ke Masa

Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia
Dari Masa Ke Masa

Dosen Pengampu :
Agustine Nurhayati

3d4e6ba4fb9952415c484e69dc981e5c.png

Guntur Putra Adji Widya Ningkrat (13622029)
Fakultas Teknik
Program Diskusi Teknik Informatika

Tahun 2014

Sejak negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka sistem ekonomi Indonesia yang digunakan terus berkembang dari masa ke masa. Perkembangan sistem ekonomi Indonesia, yaitu di mulai dari masa pasca kemerdekaan, masa demokras liberal, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan masa reformasi yang sampai saat ini masih digunakan dalam sistem perekonomian Indonesia.

Pada masa pemerintahan Orde Lama tahun 1945-1950, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan amat buruk. Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi fisik maupun nonfisik selama pendudukan Jepang. Selain itu, Pemerintah yang belum berpengalaman juga masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak.

Selama periode orde lama Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis yang menyebabkan kehancuran politik dan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada perekonomian Indonesia. Ketidakstabilan pada ekonomi negara Indonesia  pada masa awal kemerdekaan, yaitu disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI, kas negara kosong, eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan, dan tanah pertanian yang rusak. 

Inflasi yang sangat tinggi terjadi karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali pada zaman pendudukan Jepang. Tiga mata uang yang diberlakukan pemerintah RI di wilayah negara Republik Indonesia, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Sehingga para petani harus menderita akibat terjadinya inflasi tersebut.






Pada tanggal 6 Maret 1946 saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) yang baru, yaitu Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu.  Sehingga pada bulan Oktober 1946 pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.

Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin olehMargono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

Selain karena inflasi, terjadinya ketidakstabilan perekonomian Indonesia juga disebabkan karena adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu keluar-masuk perdagangan negara RI ke luar negeri. Alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini, yaitu untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia, mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya, melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.

Ketidakstabilan yang terjadi pada perekonomian Indonesia pada masa pasca kemerdekaan ini memberikan masalah dan kesulitan-kesulitan ekonomi bagi masyarakat. Sehingga dilakukanlah usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut, yaitu dengan cara melakukan Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP pada bulan Juli 1946, upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swastaAmerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura danMalaysia, konferensi ekonomi pada Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak (seperti masalah produksi dan distribusi makanan, sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan), pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) pada 19 Januari 1947, dan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

Usaha-usaha yang dilakukan tersebut tetaplah tidak memberikan dampak perubahan yang besar dalam mengatasi kesulitan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Namun, peralihan upaya-upaya tersebut tetaplah memberikan dampak perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik dari keadaan yang sebelumnya.

Masa demokrasi liberal (1950-1957) disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal saat itu pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan Indonesia yang baru merdeka.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi (berupa utang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah)  dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB, pemerintah harus menanggung defisit sebesar 5,1 Miliar. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia, politik keuangan Pemerintah Indonesia dirancang oleh Belanda, pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional, belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai, banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia, tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat, kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan, dan angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

Masalah perekonomian yang muncul ini pun akhirnya  menimbulkan berbagai usaha-usaha untuk mengatasinya. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi tersebut dikenal dengan istilah Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun. Caranya,yaitu memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri KeuanganSyafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar. Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.

Selain upaya Gunting Syarifuddin saat itu juga dilakukan Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Kemudian pada tanggal  15 Desember 1951, Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.

Pada saat itu upaya untuk mengatasi perekonomian juga dilakukan sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Kemudian juga dilakukan pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

Pada tanggal 11 November 1958 di buat Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pem sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah bangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. Namun, pada akhirnya RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat tahun 1957-1958, perjuangan pembebasan Irian Barat, dan adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebajikan ekonominya masing-masing.

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Penyebab ekonomi Indonesia semakin buruk, yaitu menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA, adanya inflasi yang cukup tinggi ± 400, konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora), dan defisit negara mencapai 7,5 miliar rupiah.

Pemerintah pun tidak hanya berdiam diri melihat kondisi ekonomi dan keuangan yang semakin memburuk. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah pun melakukan devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang, yaitu uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000 dibekukan. Kemudian melakukan pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialisi Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. Selanjutnya, devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Upaya yang dilakukan pemerintah juga mengalami kegagalan. Kegagalan yang yang dialami tersebut disebabkan karena penanganan ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis, dan tidak ada kontrol. Selain itu juga disebabkan oleh tidak adanya ukuran yang objektif dalam menilai suatu usaha atau hasil orang. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter merupakan salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain. Kehidupan ekonomi Indonesia masih belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Namun, peralihan dari orde lama ke orde baru telah memberikan iklim politik yang dinamis walaupun akhirnya mengarah ke otoriter meskipun pada kehidupan ekonomi mengalami perubahan yang lebih baik.

Orde Baru adalah sebutan bagai masa pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Maret 1966, Indonesia dalam era Orde Baru perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat  pembangunan ekonomi dan sosial tanah air. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan 5 tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negara-negara barat. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa Orde Baru dimana sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun. Dan kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu kemampuan politik yang kuat, stabilitas ekonomi dan politik, SDM yang lebih baik, sistem politik ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat, dan dan kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan sesuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga, antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran. Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan yang dibuat sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.

Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasidan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Pada saat itu Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan kemudian digantikan "Era Reformasi".

Pada masa reformasi ini perekonomian indonesia ditandai dengan krisis monoter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda ke arah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5% untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah diperhitungkan, namun laju inflasi masih cukup tinggi yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998 hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan negatif, namun pada tahun 1999 terjadi perbedaan pertumbuhan kondisi ekonomi Indonesia.

Pada masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie di bulan agustus 1998, dalam mengawali masa reformasi dan belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi maka Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkannya untuk mengendalikan stabilitas politik.

Di bulan Oktober 1999, pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid program tersebut diperpanjang. Pada saat itu masih belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru dan harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Presiden pun terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.

Pada masa pemerintahannya masyarakat menaruh harapan besar kepada Gusdur meskipun dalam hal perekonomian  Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun selama pemerintahan Gusdur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gusdur dengan IMF juga mulai tidak baik. Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Seperti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang negatif dan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang sangat buruk. Namun kondisi nilai tukar rupiah memang baik. Tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor dan karena tingginya suku bunga deposito. Sehingga mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk diselesaikan,yaitu pemulihan ekonomi dan penegakkan hukum. Inflasi yang dihadapi juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri maupun swasta.
Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial, yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita yang mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

Walaupun demikian, Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total. Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6.300 Trilyun  meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar di dunia G20.

No comments:

Post a Comment