Perkembangan Sistem Ekonomi Indonesia
Dari Masa Ke Masa
Dosen
Pengampu :
Agustine
Nurhayati
![3d4e6ba4fb9952415c484e69dc981e5c.png](file:///C:/Users/user/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Guntur
Putra Adji Widya Ningkrat (13622029)
Fakultas
Teknik
Program
Diskusi Teknik Informatika
Tahun
2014
Sejak negara Republik Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka sistem
ekonomi Indonesia yang digunakan terus berkembang dari masa ke masa.
Perkembangan sistem ekonomi Indonesia, yaitu di mulai dari masa pasca kemerdekaan,
masa demokras liberal, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan masa
reformasi yang sampai saat ini masih digunakan dalam sistem perekonomian
Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Lama
tahun 1945-1950, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi
kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Keadaan sistem
ekonomi Indonesia pada masa awal kemerdekaan amat buruk. Buruknya perekonomian
Indonesia selama pemerintahan Orde Lama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur
ekonomi fisik maupun nonfisik selama pendudukan Jepang. Selain itu, Pemerintah
yang belum berpengalaman juga masih ikut campur tangan ke dalam beberapa
kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak.
Selama periode orde lama Indonesia
pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis yang menyebabkan
kehancuran politik dan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada
perekonomian Indonesia. Ketidakstabilan pada ekonomi negara
Indonesia pada masa awal kemerdekaan, yaitu disebabkan oleh inflasi
yang sangat tinggi, adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November
1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI, kas negara kosong,
eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan, dan tanah pertanian yang
rusak.
Inflasi yang sangat tinggi terjadi
karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali pada zaman
pendudukan Jepang. Tiga mata uang yang diberlakukan pemerintah RI di wilayah
negara Republik Indonesia, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Sehingga para petani
harus menderita akibat terjadinya inflasi tersebut.
Pada tanggal 6 Maret 1946 saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia,
Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan
sekutu) yang baru, yaitu Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan
berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Sehingga
pada bulan Oktober
1946 pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang.
Untuk melaksanakan koordinasi dalam
pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara
Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang
didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin olehMargono
Djojohadikusumo.
Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Selain karena inflasi, terjadinya
ketidakstabilan perekonomian Indonesia juga disebabkan karena adanya blokade
ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu keluar-masuk
perdagangan negara RI ke luar negeri. Alasan pemerintah Belanda melakukan
blokade ini, yaitu untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer
ke Indonesia, mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan
milik asing lainnya, melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
Ketidakstabilan yang terjadi pada
perekonomian Indonesia pada masa pasca kemerdekaan ini memberikan masalah dan
kesulitan-kesulitan ekonomi bagi masyarakat. Sehingga dilakukanlah usaha-usaha
untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut, yaitu dengan cara melakukan Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP pada bulan Juli
1946, upaya menembus blokade dengan
diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan
perusahaan swastaAmerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan
ke Singapura danMalaysia, konferensi ekonomi pada Februari
1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak (seperti masalah produksi dan distribusi makanan, sandang, serta
status dan administrasi perkebunan-perkebunan), pembentukan Planning Board
(Badan Perancang Ekonomi) pada 19 Januari 1947, dan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang
(Rera) 1948, yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut
tetaplah tidak memberikan dampak perubahan yang besar dalam mengatasi kesulitan
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Namun, peralihan upaya-upaya
tersebut tetaplah memberikan dampak perubahan kehidupan ekonomi yang lebih
baik dari keadaan yang sebelumnya.
Masa demokrasi liberal (1950-1957)
disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal saat itu
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan Indonesia
yang baru merdeka.
Upaya yang dilakukan pemerintah
untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan
jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Faktor yang menyebabkan
keadaan ekonomi tersendat, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949 bangsa Indonesia
menanggung beban ekonomi (berupa utang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah
dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah) dan keuangan
seperti yang telah ditetapkan dalam KMB, pemerintah harus menanggung defisit
sebesar 5,1 Miliar. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama
hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor
dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia, politik keuangan
Pemerintah Indonesia dirancang oleh Belanda, pemerintah Belanda tidak mewarisi
nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem
ekonomi nasional, belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik,
belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai, banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia,
tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat, kabinet terlalu sering
berganti menyebabakan program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan, dan
angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah perekonomian yang muncul ini
pun akhirnya menimbulkan berbagai usaha-usaha untuk mengatasinya.
Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi
tersebut dikenal dengan istilah Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai
uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar
tingkat harga turun. Caranya,yaitu memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50
ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh
Menteri KeuanganSyafruddin
Prawiranegara pada
masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU
tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi
defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar. Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan
karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan
kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan
pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat
pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Selain upaya Gunting Syarifuddin
saat itu juga dilakukan Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan
memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit
pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1951, Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
Pada saat itu upaya untuk mengatasi
perekonomian juga dilakukan sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo
I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama
antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan
dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Kemudian juga
dilakukan pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Pada tanggal 11 November 1958 di
buat Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR. Tahun 1957 sasaran dan
prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pem sebesar 1,5 Triliun
rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah bangunan (Munap).
Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. Namun, pada akhirnya RPLT
tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena adanya depresi ekonomi
di Amerika Serikat dan Eropa Barat tahun 1957-1958, perjuangan pembebasan Irian
Barat, dan adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah
yang melaksanakan kebajikan ekonominya masing-masing.
Sebagai akibat dari dekrit presiden
5 Juli 1959, maka pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) Indonesia
menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus
pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem
ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik, dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia. Penyebab ekonomi Indonesia semakin
buruk, yaitu menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA, adanya inflasi yang cukup
tinggi ± 400, konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora), dan defisit negara
mencapai 7,5 miliar rupiah.
Pemerintah pun tidak hanya berdiam
diri melihat kondisi ekonomi dan keuangan yang semakin memburuk. Sehingga untuk
mengatasi hal tersebut, pemerintah pun melakukan devaluasi yang diumumkan pada
25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang, yaitu uang kertas pecahan Rp 500 menjadi
Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi Rp 25.000 dibekukan. Kemudian melakukan pembentukan Deklarasi
Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialisi Indonesia dengan cara
terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. Selanjutnya,
devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang
rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat
lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Upaya yang dilakukan pemerintah juga
mengalami kegagalan. Kegagalan yang yang dialami tersebut disebabkan karena
penanganan ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis, dan tidak ada
kontrol. Selain itu juga disebabkan oleh tidak adanya ukuran yang objektif
dalam menilai suatu usaha atau hasil orang. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai
tindakan moneter merupakan salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan
sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke
Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
Kehidupan ekonomi Indonesia masih belum berhasil dengan baik dan tantangan yang
menghadangnya cukup berat. Namun, peralihan dari orde lama ke orde baru telah
memberikan iklim politik yang dinamis walaupun akhirnya mengarah ke otoriter
meskipun pada kehidupan ekonomi mengalami perubahan yang lebih baik.
Orde Baru adalah sebutan bagai masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru menggantikan pemerintahan Orde Lama
yang dipimpin oleh Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi
prioritas utama Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain
itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Maret 1966, Indonesia dalam era Orde
Baru perhatian pemerintahan lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial tanah air. Usaha
pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan 5 tahun
secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh
negara-negara barat. Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di
Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar. Perubahan ekonomi
struktural juga sangat nyata selama masa Orde Baru dimana sektor industri
manufaktur meningkat setiap tahun. Dan kondisi utama yang harus dipenuhi
terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik,
yaitu kemampuan politik yang kuat, stabilitas ekonomi dan politik, SDM yang
lebih baik, sistem politik ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat, dan dan
kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik.
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR
dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih
dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD
juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun
1970-an dan 1980-an.
Kebijakan-kebijakan ekonomi pada
masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk disahkan menjadi APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun
berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran
fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi
nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih
kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia
usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang
baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan
yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai
keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru
dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan
rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan
berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal
ini diterapkan sesuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan
bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas
dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan
dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara
penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak
mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir.
Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup
anggaran yang defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut
ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman
tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran
di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu
selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut
menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan
pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah
dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga, antara penerimaan
dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan
pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran. Namun prinsip
berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran
yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan
pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan
pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya
digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut
pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan yang dibuat
sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata.
Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri
selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu
meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN
tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari
dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap
pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan
menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Hal lain yang dapat terjadi
adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya
perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan
menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya
lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk
berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada
aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan
finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di
bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7%
dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi
industri dan pasar utama yang berkembang.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi
sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah
ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan
naiknya inflasidan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan
fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International
Monetary Fund (IMF)
mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada
penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang
dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang
melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Pada saat itu Rupiah masih belum
stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada tanggal 21 Mei 1998
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan
menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini
menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan kemudian digantikan "Era
Reformasi".
Pada masa reformasi ini perekonomian
indonesia ditandai dengan krisis monoter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi
yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda ke arah pemulihan. Walaupun
ada pertumbuhan ekonomi sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5% untuk tahun 1998
dimana inflasi sudah diperhitungkan, namun laju inflasi masih cukup tinggi
yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998 hampir seluruh sektor mengalami pertumbuhan
negatif, namun pada tahun 1999 terjadi perbedaan pertumbuhan kondisi ekonomi
Indonesia.
Pada masa Pemerintahan Presiden BJ.
Habibie di bulan agustus 1998, dalam mengawali masa reformasi dan belum
melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi maka Indonesia
dan IMF menyetujui program pinjaman dana untuk membantu dalam proses pemulihan
ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkannya untuk mengendalikan
stabilitas politik.
Di bulan Oktober 1999, pada masa kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid program tersebut diperpanjang. Pada saat itu
masih belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
dan harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Presiden pun terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat.
Pada masa pemerintahannya masyarakat
menaruh harapan besar kepada Gusdur meskipun dalam hal perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Namun selama pemerintahan Gusdur,
praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan
dengan baik. Selain itu hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gusdur
dengan IMF juga mulai tidak baik. Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak
semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country
risk Indonesia. Makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh
beberapa indikator ekonomi. Seperti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang negatif dan rendahnya kepercayaan pelaku
bisnis terhadap pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Masa pemerintahan Megawati Soekarno
Putri mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang sangat buruk. Namun kondisi
nilai tukar rupiah memang baik. Tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini
disebabkan kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi investor dan karena
tingginya suku bunga deposito. Sehingga mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk diselesaikan,yaitu pemulihan ekonomi dan penegakkan hukum. Inflasi yang
dihadapi juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa
pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya
investor swasta, baik dalam negeri maupun swasta.
Pada masa kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial, yaitu mengurangi subsidi
BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi
oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita yang mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar
negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Walaupun demikian, Indonesia telah
mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam
memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus
berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar
pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun
2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun
2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total. Pada 2010 Ekonomi Indonesia
sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6.300
Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun
1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang
tumbuh paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi
terbesar di dunia G20.
No comments:
Post a Comment